Sejumlah peneliti memperkirakan awal sampai pertengahan 2016 akan
menjadi periode krusial bagi kondisi perikanan dan kelautan. Suhu
permukaan laut makin panas dan memungkinkan penurunan tangkapan ikan dan
pemutihan karang lagi.
Reef Check Indonesia dalam rilisnya memaparkan sejumlah temuan
tentang perubahan iklim yang mempengaruhi sektor kelautan dan perikanan.
Pemanasan global yang mendorong terjadinya pemutihan karang massal di
2009 dan 2010 berdampak pada hingga 40-60% terumbu karang di Indonesia.
Fenomena yang sama menyapu 60% terumbu karang pada 1998 yang
menghasilkan hamparan karang mati.
Hingga kini karang-karang itu tidak mampu pulih. Sebuah studi
memproyeksikan bahwa suhu dan keasaman laut yang meningkat akibat
perubahan iklim ini dapat menurunkan produksi perikanan Indonesia.
Bahkan hingga 50% di beberapa daerah penangkapan ikan.
“Semua kerja keras Ibu Susi Pudjiastuti dan jajarannya di Kementerian
Kelautan dan Perikanan yang sudah dibangun setahun terakhir bisa habis
dalam beberapa bulan,” kata Derta Prabuning, Direktur Reef Check
Indonesia.
Derta mengatakan mengikuti perkembangan tren kenaikan suhu permukaan
laut di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Ia menemukan bahwa ada
ancaman serius terhadap perairan laut dan perikanan Indonesia.
“Pemodelan oseanografi menunjukkan bahwa ada pergerakan suhu
permukaan air laut yang lebih panas ke perairan Indonesia dalam beberapa
bulan ke depan,” katanya.
Menurutnya Februari hingga Juli 2016 akan menjadi periode paling
krusial bagi laut Indonesia. Waktu di antara kedua bulan tersebut diduga
menjadi puncak terjadinya pemanasan suhu permukaan laut. Jika tidak ada
pengaruh dan variasi lingkungan, akan mendapati stress massal di
terumbu karang. Jika tidak bertahan karang akan mengalami pemutihan, dan
jika terlalu parah maka menjadi hamparan karang mati.
Reef Check Indonesia melakukan pemantauan untuk merekam dan memeriksa
seberapa parah kerusakan dan dampak dari suhu permukaan air laut pada
terumbu karang di Bali dan Lombok. “Kami merekomendasikan agar instansi
kelautan dan perikanan menyusun atau menyiapkan sebuah prosedur darurat
untuk memastikan kejadian yang riskan seperti ini mendapat penanganan
yang memadai,” tambah Prabuning.
Prosedur darurat tersebut bisa mencakup mengordinir tim pemantau
gabungan yang melibatkan masyarakat lokal dan pelaku usaha. Kemudian
bekerjasama dengan pelaku usaha yang terdampak untuk mengembangkan
aktivitas wisata alternatif, mengalokasikan dana khusus, dan sumberdaya
untuk tanggap darurat.
Juga melindungi kawasan-kawasan penting yang tidak terdampak atau
menjadi sumber anakan karang dan mengumpulkan data dan informasi
selengkap mungkin. Untuk kemudian dianalisa mencari pemecahan masalah
ataupun mitigasi yang efektif.
Menurut Jensi Sartin, salah seorang peneliti ekologi Reef Check
Indonesia, tanggap darurat tergantung kesediaan tim dan sumberdaya bisa
mencakup sistem peringatan dini kejadian di lapangan. Atau pusat
koordinasi yang dilengkapi alur pengambilan keputusan bertugas
menentukan tindakan apa yang harus dilakukan baik riset maupun terkait
pengelolaan.
“Secara khusus hal seperti ini belum ada,” katanya menjawab
pertanyaan Mongabay. Reef Check dan CORAL pernah menguji coba sistem SMS
sebagai peringatan dini. Harapannya sistem ini bisa disempurnakan
pemerintah.
Dulu, kejadian besar yang menunjukkan perubahan iklim cenderung
jarang terjadi. Misalnya pemutihan karang massal tahun 1997, lalu
2009-2010. Metode prediksi pun cenderung belum detail hanya memberikan
perkiraan waktu dalam skala bulan/minggu namun terjadi dalam waktu yang
pendek dengan dampak kerusakan yang bisa sangat besar.
“Yang krusial adalah pengetahuan kita tentang dampak perubahan iklim
belum kuat sehingga kita harus benar-benar siap untuk mendapatkan data
semaksimal mungkin saat kejadian ini muncul,” tambah Jensi. Tingkat
kesulitan pengumpulan data bervariasi dan terkadang dibutuhkan ahli dari
universitas atau badan penelitian pemerintah.
Dampak perikanan
Fenomena ini bakal berdampak bagi nelayan karena bakal mengurangi
hasil tangkapan ikan. Khususnya untuk jenis ikan, kerang, kepiting dan
hewan laut lainnya yang sebagian atau seluruh tahapan hidupnya rentan
terhadap kenaikan suhu dan tingkat keasaman laut.
Dalam jangka pendek nelayan akan membutuhkan bantuan untuk menutupi
berkurangnya pendapatan. “Kenyataannya perubahan iklim ini memperparah
kondisi hidup nelayan yangg selama ini sudah sulit,” tambah Jensi.
Menurutnya pemerintah maupun lembaga non pemerintah yg terkait harus
duduk bersama dengan nelayan untuk mencari solusi misalnya mengembangkan
mata pencaharian alternatif yang sesuai, mengembangkan strategi untuk
melindungi kawasan laut yang penting untuk menyuplai anakan ikan dan
karang, serta merehabilitasi kawasan yang rusak. Juga mendorong riset
untuk mengintensifkan praktik perikanan yang tepat dalam situasi iklim
yg terus berubah.
Reef Check Indonesia mendesak pemerintah untuk tidak menunda
mengambil langkah tegas sebagai tindak lanjut kesepakatan mengatasi
perubahan iklim. Kesepakatan yang akan membatasi kenaikan pemanasan
global 1.5 derajat celcius dicapai dalam pertemuan para pihak ke 21 (COP
21) di Paris akhir tahun lalu.
Indonesia merupakan salah satu negara yang akan terdampak secara
signifikan mengingat kombinasi letaknya di khatulistiwa, banyaknya
pulau-pulau yang rentan tenggelam, serta tingkat ketergantungan yang
sangat tinggi terhadap sumberdaya alam.
Apa yang telah dicapai para delegasi di Paris dinilai suatu yang luar
biasa namun juga bencana jika misalnya 187 negara yang telah memasukkan
target kontribusi penurunan emisinya kepada PBB tidak mau menepati
target tersebut.
BalasHapusSegera daftarkan diri anda dan bermainlah di Agen Poker, Domino, Ceme dan capsa Susun Nomor Satu di Indonesia AGENPOKER(COM)
Jadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !